GadgetDIVA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah resmi mengesahkan Revisi Undang Undang (RUU) TNI. Hal ini memicu beragam penolakan dari rakyat sipil kepada pemerintah.
Tak terkecuali organisasi masyarakat sipil yang berfokus dalam memperjuangkan hak digital, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet). Mereka menolak keras RUU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang tak transparan dan partisipatif. Sebab, mereka melihat adanya indikasi milterisasi di ruang siber.
“Kami, SAFEnet, organisasi masyarakat sipil yang fokus memperjuangkan hak digital, mengutuk proses pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang tidak transparan dan tidak partisipatif. Kami menyoroti salah satu poin pembahasan RUU TNI, yaitu mengenai perluasan kewenangan TNI di ruang digital, yang kami lihat sebagai bentuk militerisasi ruang siber,” tulisnya dalam sebuah pernyataan resmi dikutip pada Jumat (21/3).
Baca Juga
Advertisement
SAFEnet memandang beberapa poin dalam RUU TNI yang berdampak pada ruang siber masyarakat. Hal ini tertuang pada Pasal 7 (2) huruf b nomor 15 dan 16 terkait Tugas Operasi Militer Selain Perang.
Pasal tersebut berbunyi, “membantu dalam upaya menanggulangi Ancaman pertahanan siber; dan membantu dalam melindungi dan menyelamatkan Warga Negara serta kepentingan nasional di luar negeri.”
Dalam sebuah keterangan resmi, Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin mengonfirmasi bahwa salah satu poin yang disepakati ialah perluasan operasi militer selain perang (OMSP) dengna mencakup pertahanan siber. Selain itu, adanya usulan pemerintah untuk memperluas wilayah OMSP termasuk untuk mendukung pemerintah dalam menghadapi ancaman siber.
Baca Juga
Advertisement
“Perang Siber tidak hanya meneyerang infrastruktur secara fisik, namun juga dimensi virtual dan koginitif. Musuh/Lawan melakukan manipulasi sosial, polusi informasi, memperkuat narasi dengan ekspresi berlebihan untuk menyerang kerawanan kognitif,” ungkap TB Hasanudin dalam keterangan persnya pada Sabtu (15/3).
Sebagai organisasi yang berpihak pada warga sipil, SAFEnet menentang poin-poin tersebut. Menurut mereka, keterangan yang disampaikan TB Hasanuddin tersebut sangat kental dengan nuansa militerisasi ruang siber (militarization of cyberspace).
Militersiasi ruang siber sendiri merupakan upaya negara dalam mengonstruksi domain siber sebagai ancaman utama terhadap keamanan nasional. Sehingga, dapat digunakan untuk melegitimasi penerapan langkah-langkah berorientasi militer dalam menangani ancaman siber maupun membenarkan pengembangan dan peningkatan berkelanjutan kapabilitas militer siber tanpa henti.
Baca Juga
Advertisement
“Kami menilai bahwa narasi ini sangat berbahaya bagi penghormatan terhadap hak-hak digital masyarakat Indonesia. Perluasan kewenangan OMSP untuk mengatasi dimensi virtual dan kognitif dari perang siber dapat diinterpretasikan secara luas dan sangat rentan disalahgunakan,” imbuh SAFEnet.
Jika dimensi virtual dan kognitif dari ancaman siber dipandang sebagai ancaman eksistensial, lanjut mereka, negara dapat menjadikannya sebagai justifikasi untuk menerapkan langkah-langkah koersif yang berentangan dengan nilai-nilai HAM.
SAFEnet juga menilai narasi ancaman “Perang Siber” dengan negara lain dapat dijadikan kambing hitam untuk membungkam wacana-wacana kritis serta meningkatkan kontrol negara atas sirkulasi informasi publik di ruang digital. Yakni, dengan cara pengawasan massal yang sebenarnya merupakan pelanggaran hak atas privasi, penyensoran konten/situs web yang merupakan pelanggaran hak atas informasi, dan pengetatan regulasi terkait ekspresi daring yang merupakan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi.
Baca Juga
Advertisement
Selain itu, menurut pandangan SAFEnet, upaya pemerintah mereduksi ancaman siber semata-mata sebagai ancaman terhadap negara dan militer. Alih-alih, melihatnya sebagai permasalahan yang lebih luas dan kompleks.
“Hemat kami, pengaturan tentang tanggung jawab korporasi digital yang kerap memfasilitasi manipulasi opini publik, serta percepatan pembahasan peraturan turunan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) agar segera berlaku efektif, justru jauh lebih penting dan mendesak untuk dibahas pemerintah bersama DPR RI,” pungkas SAFEnet.
Mereka menganggap peraturan-peraturan tersebut dapat memberikan dampak nyata dan manfaat langsung bagi warga negara. Jika dibandingkan dengan memperluas kewenangan militer.
Baca Juga
Advertisement
Kemudian, ketentuan membuka kesempatan bagi para prajurit aktif militer untuk menduduki jabatan-jabatan sipil juga membuka ancaman baru bagi penghormatan hak-hak digital masyarakat. Ketentuan baru tersebut memungkinkan militer untuk menduduki posisi-posisi strategis di lembaga-lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mengatur ruang siber, seperti Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia.
“Hal ini dapat berimplikasi pada lahirnya kebijakan-kebijakan militeristik terkait ruang siber, yang acap kali berlawanan dengan nilai-nilai HAM,” tandasnya.
Baca Juga
Advertisement
Cek berita teknologi, review gadget dan video Gadgetdiva.id di Google News. Baca berita otomotif untuk perempuan di Otodiva.id, kalau butuh in-depth review gadget terkini kunjungi Gizmologi.id. Bagi yang suka jalan-jalan, wajib baca Traveldiva.id.