Wanita Tuna Wicara Bisa Bersuara Kembali Berkat Teknologi Brain to speech

Brain To Speech
Unsplash

GadgetDIVA - Dunia medis dan teknologi kembali mencatat sejarah. Seorang wanita berusia 47 tahun yang telah kehilangan kemampuan bicaranya selama hampir dua dekade akibat stroke, kini mampu kembali berkomunikasi—berkat sebuah terobosan teknologi mutakhir yang disebut brain to speech.

Inovasi ini dikembangkan oleh para ilmuwan dari University of California (UC) Berkeley dan UC San Francisco (UCSF), dan memungkinkan aktivitas otak untuk diterjemahkan langsung menjadi ucapan dalam waktu nyaris seketika. Sebelumnya, teknologi sejenis memang sudah ada, namun selalu terkendala oleh jeda waktu yang terlalu lama, sehingga sulit digunakan untuk percakapan alami.

“Komunikasi lisan yang alami itu terjadi secara instan,” tulis para peneliti dalam jurnal Nature Neuroscience yang memuat studi tersebut. “Penundaan bicara yang lebih dari beberapa detik dapat mengganggu kelancaran percakapan dan membuat penderita kelumpuhan bicara merasa terisolasi.”

Advertisement

Membangun Suara dari Pikiran melalui Brain to Speech

Brain To Speech
Unsplash

Penelitian ini melibatkan seorang pasien yang mengalami quadriplegia akibat stroke batang otak 18 tahun lalu. Stroke tersebut merusak jalur saraf yang mengendalikan kemampuan berbicara, membuatnya tidak mampu lagi mengucapkan kata-kata yang dapat dipahami.

Untuk mengatasi hal ini, para ilmuwan menanamkan elektroda di permukaan area sensorimotor bicara pada otaknya. Elektroda ini merekam aktivitas neural saat sang wanita mencoba mengucapkan kalimat secara diam-diam—dengan hanya menggerakkan mulut, tanpa suara.

Contoh kalimat yang digunakan dalam uji coba termasuk frasa sederhana seperti “Apa yang dia mau?”, “Di mana kamu mendapatkannya?”, hingga “Apakah kamu menginginkannya?”. Dari sini, jaringan saraf buatan (deep learning) dilatih untuk mengenali pola aktivitas otak tersebut dan menerjemahkannya menjadi ucapan secara real-time.

Advertisement

Hampir Tanpa Jeda: Terobosan dalam Kecepatan

Perbedaan paling signifikan dari teknologi ini terletak pada kecepatannya. Jika teknologi sebelumnya memerlukan jeda beberapa detik untuk mengubah sinyal otak menjadi suara, sistem baru ini mampu melakukan decoding dalam waktu hanya 80 milidetik. Artinya, pengguna dapat berbicara nyaris secara langsung, tanpa lag yang mengganggu.

Dalam sebuah wawancara eksklusif, Dr. David Moses, salah satu peneliti utama dari UCSF, menyatakan:

“Kami mengambil langkah besar menuju komunikasi yang lebih alami bagi mereka yang kehilangan kemampuan bicara. Teknologi ini bukan hanya soal bicara kembali—tetapi juga tentang mengembalikan martabat dan partisipasi dalam kehidupan sosial.”

Advertisement

Tak hanya menerjemahkan pikiran menjadi suara, teknologi ini juga memungkinkan sintetis suara yang menyerupai suara asli pengguna sebelum mengalami kelumpuhan. Dalam studi ini, para ilmuwan menggunakan rekaman suara sang pasien yang direkam sebelum ia terkena stroke, untuk menyesuaikan suara digital yang dihasilkan agar terdengar seperti dirinya.

Harapan Baru bagi Masa Depan

Walau hasilnya sangat menjanjikan, para peneliti mengakui bahwa teknologi ini masih dalam tahap awal. Percobaan baru dilakukan pada satu partisipan, dan masih banyak aspek yang harus disempurnakan agar bisa digunakan secara luas dan praktis.

“Ini bukan akhir, melainkan permulaan,” kata Prof. Edward Chang, ahli bedah saraf di UCSF. “Kami masih harus mengembangkan akurasi decoding, memperluas kosakata, serta memastikan bahwa teknologi ini dapat dipakai dengan nyaman dalam kehidupan sehari-hari.”

Advertisement

Peneliti juga menyoroti bahwa performa sistem saat digunakan langsung (online) masih sedikit lebih rendah dibandingkan pendekatan berbasis teks. Oleh karena itu, pengembangan berikutnya akan difokuskan pada peningkatan kualitas streaming dan pengujian pada lebih banyak pasien dengan berbagai kondisi.

Menjawab Kebutuhan Nyata

Studi ini tidak hanya mencerminkan kemajuan teknologi, tetapi juga menyentuh sisi kemanusiaan. Dalam dunia yang semakin bergantung pada komunikasi instan, mereka yang kehilangan kemampuan bicara sering kali tersisih dari percakapan sehari-hari. Teknologi brain-to-speech ini membuka peluang baru untuk mengembalikan suara mereka—bukan hanya dalam arti literal, tetapi juga secara sosial dan emosional.

“Saya tidak bisa membayangkan betapa luar biasanya rasanya bisa berbicara lagi setelah 18 tahun,” ungkap salah satu perawat yang mendampingi pasien selama proses uji coba. “Ada air mata haru saat dia pertama kali mendengar ‘suaranya’ kembali.”

Advertisement

Menuju Masa Depan Komunikasi Tanpa Batas

Dengan semakin matangnya teknologi antarmuka otak-komputer, harapan untuk mengatasi berbagai disabilitas komunikasi kini tampak semakin nyata. Integrasi antara ilmu saraf, kecerdasan buatan, dan rekayasa perangkat keras terus membuka jalan bagi solusi revolusioner.

Jika pengembangan ini terus berlanjut, bukan mustahil dalam waktu dekat, penderita kelumpuhan bicara dari berbagai usia dan latar belakang bisa kembali terlibat aktif dalam kehidupan sosial mereka. Tak hanya itu, dengan personalisasi suara, mereka juga bisa mempertahankan identitas vokal yang khas dan berarti secara emosional.

Advertisement

Cek berita teknologi, review gadget dan video Gadgetdiva.id di Google News. Baca berita otomotif untuk perempuan di Otodiva.id, kalau butuh in-depth review gadget terkini kunjungi Gizmologi.id. Bagi yang suka jalan-jalan, wajib baca Traveldiva.id.

Jurnalis teknologi dan gadget sejak 2005. Mulai dari Majalah Digicom, pernah di Tabloid Ponselku, pendiri techno.okezone.com, 5 tahun di Viva.co.id, 2 tahun di Uzone.id. Pernah bikin majalah digital Klik Magazine, sempat di perusahaan VAS Celltick Technologies. Sekarang jadi founder Gadgetdiva.id, bantuin Indotelko.com dan Gizmologi.id. Supermom dengan 2 orang superkids.